JANJI KASIH YANG TANPA SYARAT
By
sianny
—
Jumat, 25 Agustus 2017
—
Add Comment
—
Daily Bread,
http://momentofunity.org,
Moment of Unity,
MoU Indonesia,
Renungan Harian
Matius 18: 18-19
Aku berkata kepadamu sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga. Dan aku berkata kepadamu: Jika dua orang daripadamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan BapaKu yang di sorga
"Pada hari ini saya....... menerima engkau........sebagai suami dan kekasih saya satu-satunya. Saya berjanji menjadi istri yang........, ......... .......dalam keadaan suka maupun duka, sehat atau pun sakit, kaya atau pun tidak kaya. Perjanjian ini saya buat sampai Tuhan Yesus datang yang kedua kali atau sampai kematian memisahkan kita berdua"
Begitulah kiranya ikrar janji nikah yang saya buat untuk suami saya. Sekilas sepertinya umum aja tidak ada hal yang berbeda dengan janji nikah pasangan lainnya.
Sebenarnya ada yang sesuatu yang berbeda dari janji yang kami buat. Dan hal itu hanya diketahui kami berdua. Tepatnya 2 bln menjelang hari pernikahan, saat semua persiapan berjalan sesuai jadwal kami, saya sebagai calon mempelai ngalami galau. Saya merasa tidak siap memasuki pernikahan. Ada yang belum selesai di hidup saya; saya takut. Takut akan resiko kehilangan kenyamanan hidup ketika saya masuk dalam pernikahan. Lebih baik saya single, begitu pikiran saya saat itu.
Dan saya pun mengkomunikasikan semuanya itu dengan calon suami. Kemudian, demi menenangkan hati saya, calon istrinya, serta demi semua yang sudah dibayarnya untuk keperluan pernikahan, calon suami saya pun bersedia diajak bikin "perjanjian sesat". Meski di depan altar gereja dan disaksikan gembala, jemaat serta keluarga besar kami mengucapkan janji yang "benar". Tapi di belakangnya kami punya janji sendiri.
"dalam suka maupun duka, sehat atau pun sakit, kaya atau pun tidak kaya"
Tidak ada kata "miskin" dalam kamus hidup saya; demikianlah pernyataan saya ke calon suami. "Kalo kamu masih yakin dengan saya, kamu berjanji tidak membuat saya ngalami itu yang namanya miskin. Kalo kamu tidak mau janji mending kita batal aja. Mending saya ikut papa aja ". Begitulah ancaman saya ke calon suami pada waktu itu.
Dan itu adalah kenyataan. Ketakutan yang belum lepas, membuat saya tidak bisa total mempercayai Tuhan begitu pun kepada calon suami saya.
Hal inilah yang kemudian menjadi celah hingga tahun ke 10 pernikahan kami. Konflik yang dialami seringkali berpangkal dari masalah ekonomi.
Hingga suatu hari, saat saya depresi menghadapi masalah ekonomi kami, si jahat mengingatkan saya akan "janji sesat" kami. "Dia tidak menepati kesepakatan, tidak sesuai dengan janjinya dulu, saya boleh meninggalkan dia." Sebenarnya saya sudah hampir lupa dengan perjanjian waktu menikah. Saya pun bertindak dengan segera berkemas, hendak meninggalkannya.
Tetapi itulah kasih Tuhan, kasih yang ajaib, kasihNya yang tidak juga beranjak dari hidup saya, sekali pun saya memilih untuk tidak mempercayaiNya. Dengan kelembutan kasihNya dia menegur saya, tepat di dasar hati. Dia mengajar saya secara pribadi dan menyadarkan saya akan kesalahan yang saya buat. Saya dan suami menghidupi perjanjian bersyarat yang kami buat, dan menjadikan pernikahan kami penuh dengan curiga. Tidak ada saling percaya. Sebagai istri saya tidak menaruh pengaharapan saya kepada Tuhan dan menjadikan suami sebagai kepala, saya menetapkan kasih bersyarat. Begitu pun suami, dia tidak mengandalkan Tuhan, tetap mengandalkan kemampuannya sendiri bahwa dia mampu memenuhi janjinya. Saat suami gagal, dia tidak percaya akan kesetiaan istrinya, dia merasa ditolak, sebab dia tau kasih istrinya bersyarat. Sungguh memprihatinkan kondisi pernikahan kami saat itu. Saya menangis sesengugukan di samping suami yang msh tertidur. Hingga saat dia terjaga dan mendapati wajah saya basah dengan air mata.
Hari itu juga kami bertobat, kami mengulang kembali janji nikah yang baru, tidak lagi dengan memo khusus. Janji yang dibuat tidak lagi dalam keadaan kaya atau pun tidak kaya, tetapi menjadi dalam keadaan miskin atau kaya.
Tidak lagi ada janji kasih yang bersyarat.
Dan sejak hari itu pernikahan kami tidak lagi berputar di gurun yang sama.
Mengutip nasehat Ibu Lois bahwa patut kita syukuri bahwa hikmatNya bekerja di dalam kita dan dalam kesulitan yang kita hadapi kita bertemu dengan Dia, dan hal itu membawa kita mengenal Dia lebih lagi. Dia, Sang inisiator pernikahan.
0 Response to "JANJI KASIH YANG TANPA SYARAT"