RESPON BENAR (3)
By
sianny
—
Rabu, 23 Oktober 2019
—
Add Comment
—
Daily Bread,
http://momentofunity.org,
Moment of Unity,
momentofunity.org,
MoU Indonesia,
Renungan Harian
Amsal 14:29 dan 20:3.
Miko seorang pria muda sedang jalan-jalan di mall. Ia menggunakan lift untuk ke lantai atas. Lift sudah cukup berdesakan ketika ia masuk, apalagi masuk lagi beberapa orang. Miko terjepit di tengah. Selagi berdiri, ia merasa punggungnya agak sakit karena tertekan suatu benda keras dari orang di belakangnya. Ia jengkel. Miko merasa orang ini seperti mau mendorong dia agak maju supaya bisa lebih lega. "Dasar orang tidak tahu diri. Sudah tahu lift sesak", demikian pikirannya mulai marah. "Aku semprot dia nanti pas aku keluar", batinnya. Selama beberapa saat lift naik, punggungnya terus sakit ditekan benda di belakangnya membuat darah Miko seperti sudah meluap sampai ke kepala. Energi untuk ngamuk sudah terkumpul penuh. Akhirnya di lantai foodcourt tujuannya, ketika ia bersama beberapa orang di depannya keluar sehingga sudah agak longgar segera ia berbalik badan mau langsung menumpahkan seluruh kemarahannya.
Seketika ia melihat orang di belakangnya, panas hatinya tahu-tahu surut seperti disiram air es. Orang di belakangnya ternyata seorang buta yang memakai kacamata hitam dan membawa tongkat.
Miko langsung tidak jadi marah dan ngeloyor pergi sambil geleng-geleng kepala, masih kaget.
Kemarahan adalah suatu persepsi di pikiran dan hati kita. Dalam cerita di atas, orangnya tidak berubah. Ada orang (buta) yang pegang barang yang menekan punggung. Tapi persepsinya bisa berubah. Dari tadinya marah yang meluap menjadi tiba-tiba adem hanya karena sekarang tahu dia buta.
Berarti keputusan si Miko untuk berespon marah atau tidak dikontrol oleh (keadaan) orang lain. Emosinya ditentukan oleh faktor eksternal yang selalu berubah-ubah. Akibatnya emosinya juga kacau sesuai keadaan sekelilingnya.
Beda dengan kisah Viktor Frankl. Serdadu Nazi, Jerman-nya tetap sama. Selalu menyiksa dia. Tadinya hidupnya juga penuh dengan kemarahan dan kebencian; Tetapi setelah dapat pewahyuan, Viktor Frankl memutuskan untuk tidak mau marah lagi kepada serdadu-serdadu itu. Dia memutuskan untuk emosinya tetap tenang dan bahagia. Memang pasti ini merupakan suatu proses panjang dan disiplin latihan, tetapi akhirnya berhasil. Ia bisa berespon benar. Hidupnya tidak dikuasai emosi marah itu lagi bahkan ada kedamaian dan sukacita. Faktor eksternal tidak boleh mengontrol emosinya lagi.
Dalam pernikahan, suami dan isteri sering konflik karena emosinya "tergantung" dari sikap (termasuk perkataan dan perbuatan) pasangannya. Akhirnya saling menuntut dan saling membalas. Sangat mengerikan. Kalau sudah meledak kemarahannya, saling mencaci-maki dengan kasar dan bahkan sering terjadi penyiksaan fisik. Atau ada juga yang saling mendiamkan sampai lama. Yang pasti mereka dikuasai kemarahan.
Kemarahan-kemarahan seharusnya tidak terjadi jika kita mau selalu terkoneksi dengan Tuhan. Ketika kemarahan mulai menyala, mari kita segera memutuskan untuk bersandar pada kasih karunia Tuhan dan firman-Nya.
Amsal 14:29 (TB) Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.
Amsal 20:3 (TB) Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan, tetapi setiap orang bodoh membiarkan amarahnya meledak.
Katakan: "Bapa di sorga, aku adalah anakmu. Seperti Engkau yang panjang sabar, akupun mempunyai kesabaran Ilahi sehingga aku mampu untuk tidak menjadi seorang pemarah dan menjadi orang yang terhormat seperti perkataan firman-Mu. Sekalipun sikap istriku (suamiku) sempat membuat aku kesal, tapi aku memutuskan untuk berespon benar untuk tetap tenang dan tetap baik pada istriku (suamiku) itu karena aku tahu ini respon yang berkenan pada-Mu. Di dalam nama Tuhan Yesus. Amin".
Mari kita latih diri kita untuk berespon benar dan bisa menang melawan kemarahan. Hai, Suami-Isteri berdamailah. Tuhan Yesus selalu beserta kita.
(David - Endang)
0 Response to "RESPON BENAR (3)"