BAGAIMANA BERSIKAP SEBAGAI MERTUA YANG NETRAL?
Di awal kami akan menjadi mertua, kami banyak belajar dari pasangan-pasangan yang sudah lebih dahulu menikahkan anak-anak mereka. Ada beberapa bahkan banyak contoh yang kami pelajari dari mereka. Banyak dari mereka yang bisa akur dan tidak sedikit yang tidak bisa “akur” dengan menantunya. Kedekatan hanya terbangun semu dan terbatas karena rasa hormat dan saling menghargai. Atau malah takut ribut.
Ketakutan-ketakutan sebagai orang tua adalah ketika membayangkan anak-anak kita tidak disayang oleh suami atau istri mereka.
Sebagai orang tua kita pasti membandingkan bentuk kasih yang “pernah” kita limpahkan pada anak-anak kita. Apakah pasangan hidup anak-anak kelak bisa mengasihi seperti kita mengasihi mereka?
Vita mengingatkan saya, “Kalau ingin anak kita disayang suami/istrinya, kita harus mulai mengasihi menantu kita seperti anak kita, jangan pernah membedakan kasih kita”
Itu merupakan kalimat yang terus terngiang saat kami berhadapan dengan anak menantu. Kami harus belajar mengasihi menantu seperti anak kami sendiri.
Kami tidak boleh membedakan mereka satu anak satu menantu, mereka adalah “anak kami”
Ketika anak kami mulai dekat dan pacaran dengan laki-laki pilihannya, kebetulan dia adalah anak teman sekelas waktu di SMA. Jadi saya sangat kenal dengan calon besan kami.
Sandy nanya “Pa kalau aku deket sama Arvin gimana?”
“Ya gak apa, kan Sandy yang jalanin” sahut saya.
“Papa hanya pesan, gali dan temukan sebanyak-banyaknya kekurangan dan kelemahannya, termasuk kebiasaan-kebiasaan buruknya, karakternya.
"Kalau sudah siap, dikalikan sepuluh setelah menikah karena kalian akan ketemu selama 24 jam penuh?”
“Lalu tutup semua kelemahan dan kekurangannya setelah kalian menikah”
“Jangan pernah mengeluh dengan kelemahan suamimu setelah menikah karena Sandy sudah tahu semua sebelum masuk pernikahan” sambung saya.
“Siap gak?”
“Oke pa, yang jelas ngeyelan gak mau kalah” kata Sandy.
“Kalo gitu setelah menikah ya kalikan sepuluh ngeyelnya karena kalian akan hidup bersama selama 24 jam penuh” lanjut saya sambil ketawa.
Setelah mereka menikah, meski kami sudah mempersiapkan keduanya dengan bimbingan pra nikah saat mereka berpacaran, konflik dan beda pendapat masih tetap terjadi.
Kamipun bilang pada mereka, “Itu normal asal cepet pulih dan baikan. Yang gak normal ketika kalian saling mendendam dan menyimpan kesalahan.”
Vita bilang pada mereka, “Konflik adalah harga yang harus dibayar untuk keintiman yang lebih dalam”
“Karena dengan konflik kalian akan makin mengenal emosi masing-masing, dimana “hot button”/tombol panas pasangan yang kalau tersentuh akan terjadi kemarahan. Kalian harus saling menjaga hal ini.” Sambung Vita
“Papa mama juga selalu belajar mengenal “hot button” masing-masing"
"Mama akan mudah terpancing hot buttonnya kalau rumah berantakan dan tidak ada yang peduli, selesai makan tanpa ada usaha untuk membereskan piring2 bekasnya, dan tidak ada peran dari setiap anggota keluarga di rumah."
"Kalau papa hot buttonnya saat di jalan, sering jengkel dan terpancing kalau ada yang mengemudi seenaknya.” kami mencoba saling terbuka.
Itu sebagian yang pernah menjadi materi diskusi kami di masa pandemi.
Yang kami sebut netral adalah pujian maupun teguran untuk keluarga mereka harus berlaku sama dan berimbang.
“Mama udah masakin dan siapin makanannya, sekarang gantian kalian yang beresin meja makannya” itu didikan yang selalu diajarkan Vita ke anak-anak di masa pandemi.
Hampir setiap malam sejak pandemi, kami kumpul dan makan bersama. Vita yang memasak, anak-anak yang bantuin membereskan perlengkapan makannya.
Pesan Vita kepada anak laki-laki dan menantu kami,
“Laki-laki jangan selalu minta dilayani saat di rumah, tapi juga harus bisa melayani dan mengerti semua tugas dan kerjaan rumah tangga. Paling tidak layani dirimu sendiri, jangan perintah2 asisten rumah tangga kalau bisa lakukan sendiri. Jangan mikir juga kalau dapur dan cuci2 itu hanya tugas perempuan. Kalau kerjaan rumah tangga bisa dikerjakan berdua, itu akan mengurangi potensi konflik dalam rumah tangga.” kata Vita mengajarkan ke anak menantu kami saat duduk di seputar meja makan.
Saya juga bagikan cerita lama di tahun 2009, Vita lebih senang saya bantuin rapikan tempat tidur daripada sok romantis ngasih bunga artificial di hari ulang tahunnya. Dan itu saya lakukan sampai sekarang.
Awalnya saya melakukannya untuk mendapatkan pujian dari Vita, tapi setelah sekian lama saya lakukan, saya tidak butuh lagi pujian, itu sudah jadi habit/kebiasaan. Saya sudah merasa tidak nyaman kalu melihat tempat tidur berantakan.
Saya tambahkan ke Kevin, "Kev kalau mau berubah, berubahlah untuk diri sendiri menjadi lebih baik bukan untuk orang lain, bukan karena mau nyenengin mama. Karena habit/kebiasaan baik itu Kevin yg menikmati dan dibawa saat berkeluarga nanti"
Itu sebagian wejangan-wejangan yang kami bagikan kepada anak menantu kami. Bagaimana harus bersikap di rumah untuk menghindari konflik. Apa yang kami ajarkan berlaku bagi anak-anak dan menantu kami.
Di bulan2 awal anak kami menikah, kami pernah ngobrol dan berpesan kepada mereka, kalau suatu hari nanti kalian alami konflik dan beda pendapat dan butuh penengah, kami siap membantu.
"Tapi kalau kalian bisa menyelesaikan sendiri, itu jauh lebih baik. Datang ke papa mama bukan melihat kami sebagai papa mama tapi sebagai konselor keluarga dan pernikahan. Dan kalian harus percaya kami akan bersikap netral."
Dalam hal membangun kedekatan dengan anak menantu, kami gunakan kata “friendship” untuk mendapatkan “Trust” dari mereka.
Ketika kita sebagai orang tua bisa menjadi sahabat bagi anak dan menantu kita, tanpa diminta, kepercayaan terhadap kita sebagai mertua dan orang tua akan terbangun dengan sendirinya.
(Agus - Vita)
0 Response to "BAGAIMANA BERSIKAP SEBAGAI MERTUA YANG NETRAL?"