SIAPA YANG HARUS MENDIDIK CUCU?
Beberapa bulan lalu saya pernah dua kali mengobrol panjang di tempat yang berbeda dengan pak Yusak/Yuli selama hampir 3 jam. (Teman pelayanan retret suami istri dlm wadah MoU - Moment of Unity)
Kami sharing banyak hal dari pelayanan MoU yang terhenti karena pandemi, bagaimana harus tetap menjaga api pelayanan tetap menyala kalau keadaan belum berubah dalam waktu beberapa tahun ke depan?
Dulu ketika retret MoU masih sering diadakan di seluruh Indonesia, spirit pelayanan dan kehidupan pernikahan bisa “lebih terjaga.”
Saya katakan lebih terjaga karena waktu itu, setiap saat kita diingatkan oleh prinsip-prinsip MoU yang disampaikan oleh para pengajar dalam setiap retreat.
Di sisi lain kalau survei nasional di masa pandemi selama th 2020 mendapati banyak konflik yg terjadi dalam rumah tangga, bahkan sampai pada perceraian, semestinya justru di masa-masa pandemi adalah waktu yang pas untuk praktek prinsip2 MoU dalam keluarga mumpung kita banyak waktu di rumah.
Kami juga bertukar pikiran dan mengobrol tentang fase-fase usia di tim MoU. Sekitar 12 tahun yang lalu ketika kami mulai aktif dalam kegerakan MoU. Usia kami masih muda (menurut kami) karena masih dibawah 50 tahun. Anak-anak anggota tim MoU juga masih single belum menikah.
Tapi sekarang fasenya sudah berubah, dulu yang anak-anaknya masih SD sekarang sudah mulai remaja dan mulai mengenal lawan jenis bahkan ada yang sudah membangun kedekatan.
Para orang tua harus waspada dalam hal ini. Anak-anak bisa terbuka dengan setiap pergumulannya tergantung bagaimana cara orang tua membangun “friendship” atau persahabatan yang bisa menciptakan “trust”/ kepercayaan mereka pada kita. Beberapa dari kita sudah mulai “mantu” dan bahkan bercucu.
Fasenya sudah berbeda, dan kalau mau jujur, sesungguhnya sudah tidak relevan lagi saat ini kita bicara konflik suami istri, sakit hati, kecewa, merasa tidak dihargai dan banyak lagi. Itu sudah lewat meski kadang masih aja terjadi. Itu sesuatu normal, asal tidak setiap saat konflik.
Sekarang saatnya kita bicara generasi, apa yang kita wariskan pada generasi di bawah. Bagaimana kita akan memultiplikasikan pernikahan yang ilahi. Pernikahan yang membangun keluarga dan melahirkan generasi mulia.
Kembali ke topik yang kami bahas adalah bagaimana orang tua (dalam hal ini opa dan oma) bersikap terhadap tumbuh kembang cucu? Apalagi jika cucu itu dekat dengan opa omanya.
Beberapa konseli yang dibimbing pak Yusak dan ibu Yuli berkutat dengan masalah ini. Intervensi orang tua terhadap anak menantu bahkan “cucu” sangat tinggi dan seolah merebut otoritas orang tua kandungnya.
Para orang tua merasa punya hak untuk menentukan arah didikan cucunya karena merasa lebih berpengalaman. Apalagi kalau merasa ikut berperan dan mendukung secara finansial.
Pak Yusak tidak bertanya secara eksplisit bagaimana kami memperlakukan cucu kami. Tapi bagi saya itu pertanyaan terselubung yang harus saya jawab dengan bijak.
Saya katakan bahwa kami juga belajar untuk tidak mengintervensi anak kami dalam cara didik cucu kami. Saat mamanya (anak kami) menegur anaknya karena tidak mau makan dengan keras, meski kadang merasa kasihan, kami mencoba untuk diam, menahan diri untuk tidak ikut bicara dan menasihati.
Kecuali kalau di mata kami terlalu berlebihan, kami menegurnya secara pribadi.
Kami juga terus belajar dengan membaca buku2 tentang parenting dan mendidik anak meski sudah lewat masanya. Itu juga untuk membekali anak kami. Kami juga kirimkan artikel-artikel tentang parenting yang bisa dibaca dan dipelajari oleh anak menantu kami.
Yang banyak kami temui dan saya alami sendiri sebagai opa oma adalah cara merebut perhatian cucu. Kenapa cucu lebih dekat dengan opa omanya karena mereka selalu welcome dan excuses dengan segala bentuk larangan yang diterapkan orang tuanya. Membujuk dengan pemberian dan iming2.
Ini yang harus diperhatikan para opa dan oma.
Kalau saya merasa cucu kami mulai punya kegemaran dan kesibukan bermain dan agak sulit untuk digendong, kadang saya juga lupa tidak berusaha mendekat dan duduk memberi waktu bermain, tapi berusaha untuk menarik perhatiannya dengan “iming2” supaya sang cucu mau datang mendekat.
Itulah kesalahan2 yang sering dibuat oleh opa oma. Maunya cara yang mudah, padahal dia butuh kita duduk menemaninya untuk bisa merebut hatinya. Sekali lagi harus memberi WAKTU.
Saya mengucap syukur masa pandemi justru ada sisi positif yang bisa kami ambil. Selama kurang lebih setahun, hampir setiap malam kami berkumpul dan bermain dengan cucu. Kami bisa menikmati tumbuh kembang cucu kami. Saya juga sering memandikan dan mengganti pampersnya saat di rumah kami. Kalau lagi mau “pipis/beol” saya yang dicari untuk menemaninya ke toilet. Saya merasa dekat karena memberi waktu ke Keona.
Akhir-akhir ini ketika anak kami sudah merasa perlu seorang baby sitter yang membantunya, puji Tuhan Keona senang karena setiap saat ada seorang yang menemaninya bermain dan selalu siap sedia. Di waktu yang sama, dia lebih memilih duduk bersama baby sitternya dan bermain daripada saya gendong. Saya mikir kok sekarang gak mau digendong ya padahal biasanya gampang.
Saya sadar kebutuhan anak usia 2 tahun adalah bermain dan bermain. Wajar jika dia lebih memilih orang yang mau menemaninya bermain.
Suatu hari pas hari libur, baby sitter ijin untuk pulang. Ketika orang tuanya ada keperluan untuk belanja, Keona dititipin ke kami. Karena pas liburan, saya coba untuk menemaninya selama saya bisa, main kereta-keretaan, duduk bareng menemaninya bermain dengan puluhan sendok plastik. Memandikan, membersihkan tubuhny dan mengganti pampersnya.
Meski setelahnya saya juga merasa lelah, tapi disadarkan bahwa ternyata kerjaan seorang mama/istri di rumah, bagi laki2/suami itu tugas yang sangat berat.
Malamnya ketika mau pulang ke rumah dia lebih memilih untuk tinggal dengan saya dan bermain daripada pulang ke rumah.
Inti dari sharing ini adalah sebagai orang tua terhadap anak dan cucu adalah memberi waktu untuk bisa mendapatkan kasih dari mereka. Jangan menarik perhatian mereka dengan iming-iming makanan atau coklat.
Dampak negatif jika kita tidak melakukannya, jangan pernah berharap mereka akan memberi waktu dan perhatian saat kita sudah tua.
Jangan salahkan kalau anak2 abai terhadap orang tua karena mereka tidak punya kenangan masa kecil bermain dengan kita. Ekstrimnya dikirim ke rumah jompo karena anak2 tidak punya memori yang menyenangkan bersama kita
Seperti yang pernah saya tulis bagaimana mengekspresikan KASIH pada keluarga adalah memberi WAKTU.
LOVING IS GIVING TIME. GIVING TIME MEANS PRIORITY, GIVING PRIORITY BECAUSE THEY ARE IMPORTANT
Sekali lagi jangan pernah mengintervensi cara didik yang telah diterapkan dan disepakati oleh anak menantu kita.
Masa2 kita orang tua sudah beda dengan Era anak cucu kita.
Mereka punya pola didik dengan jamannya. Kita ada dan hadir hanya sebagai partner diskusi untuk berbagi pengalaman saat mendidik mereka.
Amsal 17:6 Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka.
(Agus - Vita)
0 Response to "SIAPA YANG HARUS MENDIDIK CUCU?"