EMPTY NEST AND EMPTINESS
Empty Nest artinya adalah sarang kosong. Orang tua yang punya relasi baik dengan anak-anaknya pasti punya hubungan yang kuat secara emosi. Selama minimal 18 tahun anak bersama dengan orang tua, ketika tiba saatnya sang anak harus meninggalkan rumah untuk belajar, maka rasa kehilangan itu akan sangat terasa.
Rumah yang tadinya ramai dengan celoteh dan “keributan” mereka, tiba-tiba seperti sarang kosong. Bagaikan sarang yang ditinggal pergi anak burung karena sudah bisa terbang, kita laksana induk yang kehilangan anak-anak dan secara psikologis kita sedih dan kosong.
Mungkin banyak dari kita yang mengalaminya dan tanpa disadari masa itu tiba-tiba sudah di depan mata. Orang tua seringnya terlalu sibuk dengan urusan mereka sampai lupa untuk mempersiapkan momen keterpisahan.
Banyak dari orang tua terutama “Ayah” bekerja keras untuk mencukupkan keluarga, terutama untuk masa depan anak-anak.
Dalih orang tua hanya bekerja mencukupkan keluarga dengan “tema” untuk anak-anak sampai lupa membangun relasi suami istri.
Sarang kosong (empty nest) akan sangat terasa ketika anak-anak sudah meniggalkan rumah. Tidak dirasakan karena masih mempunyai anak-anak yang di rumah, mereka bisa menjembatani kevakuman relasi suami istri.
Ketika anak-anak masih tinggal bersama dan menjadikannya fokus bersama, segala yang kita lakukan hanya untuk mereka, tanpa sadar kita sedang menciptakan ruang antar suami istri.
Seolah ada sekat yang membatasi relasi kemesraan suami istri karena terisi oleh anak-anak. Nanti setelah anak-anak meninggalkan rumah untuk kuliah atau membangun keluarga mereka sendiri. Jarak dan ruang kosong itu akan tetap ada disana.
Tidak sepenuhnya salah berfokus untuk mempersiapkan masa depan anak-anak. Tapi jangan lupa membangun kemesraan suami istri.
Jangan jadikan anak sebagai pelarian saat terjadi miss komunikasi dengan pasangan. Jengkel dengan pasangan lari ke anak-anak dan tidak pernah duduk bersama untuk membahas setiap konflik yang terjadi.
Selalu beranggapan bahwa kemesraan bisa dibangun setelah anak-anak mandiri dan meninggalkan rumah. Kita lupa bahwa kemesraan suami istri itu tidak datang dengan tiba-tiba tapi butuh proses dan waktu bertahun-tahun untuk membangunnya.
Jika kita belum sampai pada fase ini, mari kita pikirkan untuk membangun kemesraan itu mulai dari sekarang. Jangan pernah sepelekan sekecil apapun setiap konflik yang terjadi dan membiarkan seolah itu akan hilang sendiri. Karena pembiaran akan berdampak pada hilangnya rasa sayang dan kebanggaan terhadap pasangan, sampai akhirnya membunuh rasa cinta. Tidak ada lagi getaran sayang saat berdekatan.
Amsal 27:17
Besi menajamkan besi manusia menajamkan sesamanya
Jika suami istri tidak pernah serius menyelesaikan dan membahas setiap konflik yang terjadi dan membiarkan itu tersimpan rapi, takut membicarakannya karena menghindari keributan yg lebih dalam, kita suami istri sedang saling menumpulkan, sampai pada satu titik kita kehilangan cinta dan rasa bangga thd pasangan.
Mulai sekarang ini jangan pernah abaikan momen kebersamaan dengan pasangan, karena satu hari nanti ada masanya kita hanya tinggal berdua. Empty Nest akan berakibat Emptiness.
Sarang kosong yang berdampak kesepian dan kekosongan.
Emptiness adalah kekosongan/kesepian meski kita berada dalam kerumunan bahkan keramaian. Kesepian akan kita alami jika hubungan dengan anak terbangun secara emosi yang berlebihan, lebih dari bangunan relasi dengan pasangan. Emptiness akan kita alami ketika relasi dengan pasangan tidak terjaga baik. Hidup suami istri hanya sebagai rutinitas harian, pagi kerja dan sore pulang bahkan malam, pagi berangkat kerja lagi. Tanpa bangunan kemesraan sama sekali.
Kita hidup di bawah atap yang sama, tapi merasa kesepian karena tidak ada komunikasi yang dalam bersama pasangan.
Tidak pernah terjadi percakapan yang berarti dan membangun tentang hubungan suami istri yang sehat. Komunikasi hanya sebatas tubuh. Padahal sesungguhnya komunikasi suami istri harus terbangun bukan hanya di area Tubuh tapi harus bisa masuk ke ranah Roh dan Jiwa. Pujian, pelukan dan kata-kata lembut yang memuaskan jiwa pasangan dan bangunan roh yang bisa diperoleh dari doa bersama. Matius 18:19
Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga.
Banyak pasangan yang percaya bahwa masa sarang kosong (empty nest) penuh dengan perasaan kesepian dan kosong (emptiness). Namun banyak pula pasangan yang menjaga kemesraan dengan baik dalam pernikahan mereka masih bisa mengembangkan relasi intim suami istri dengan lebih baik. Bahkan bisa memandang fase ini sebagai fase bulan madu. Itu tergantung dari cara kita memulainya saat ini.
Kami juga merasakan “kehilangan” dan merasa kosong saat kami harus melepas anak pertama kami untuk menikah dan meninggalkan kami untuk ikut suaminya. Kami juga bisa mengucap syukur karena kami masih bisa hidup rukun bersama pasangan.
Kami ingat sebuah ayat di Kejadian 2:24 yang membuat kami harus rela hati untuk melepaskan anak kami untuk bersatu dengan suaminya.
"Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”
Mereka sempat pindah beberapa bulan ke lain benua untuk memulai hidup baru mereka. Yang kami rasakan jarak yang terlalu jauh dan sulit terjangkau.
Kami juga sudah membayangkan kalau punya cucu, bagaimana kami bisa menimangnya kalau lokasi kami jauh. Itulah bayangan2 yang muncul di awal kami ditinggal.
Karena sebelum menikah selama kurang lebih 18 tahun, selalu bersama kami, masuk kuliah di luar kota selama 4 tahun, kami masih bisa menjangkaunya. Tapi setelah menikah, kami harus berhenti menjadi orang tua yang selalu khawatir.
Kami harus mulai percaya pada suaminya bahwa dia bisa mengasihi istrinya seperti kami mengasihi.
Kami masih mengucap syukur jika anak menantu kami “bisa” pulang bahkan bekerja pada perusahaan yang sama tapi dikerjakan secara remote dari Indonesia. Dan yang membuat kami sangat mengucap syukur, mereka tinggal dekat dengan kami.
Tapi bagaimana jika mereka jauh? Dan jarang bertemu?
Apakah nilai-nilai yang kita ajarkan sudah cukup untuk menjadi bekal mereka masuk dan menjalani keluarga yang baru?
Hanya kita sbg orang tua yang tahu dan merasakan bangunan relasi kita selama ini.
(Agus - Vita)
0 Response to "EMPTY NEST AND EMPTINESS"